Aviation, My Life

Story from flight 202: Mission searching for sunrise

Hi everyone, it’s good to return here after a looong day in Jogjakarta. Some people might’ve questioned where i had gone for the weekend, and I might reveal where I’ve been through this writing.

Sebenarnya perjalanan ini sudah saya rencanakan sebulan sebelumnya, maklum, sudah cukup stress dengan segala hal, mulai dari kemacetan, kesibukan, keseharian until romance (ignore the last one, I only tried to put some witty here lol) Tiket saya yang sudah di issued awal bulan ini sebenarnya dengan tujuan Denpasar Bali, untuk mengunjungi kakak saya yang sedang belajar di Bali International Flight Academy (BIFA) Buleleng which is 4 hours ride from Denpasar. Semula berpikir mungkin bisa kesana sekalian inspeksi melihat lingkungan hehe, tapi ya ternyata kakak saya pun sepertinya sibuk sudah mulai terbang observer.

Agak kecewa, tapi saya tetap kekeuh untuk pergi, ya sudah re-route lah sudah ke Jogjakarta. Orang tua saya berfikir tadinya saya mau ambil cuti untuk hari kejepit valentine (14 Februari) namun saya bilang saya tetap mau pergi Sabtu pagi dan pulang hari senin first flight dan langsung ke kantor. They were like “Isn’t that too short for holiday?” Namun saya hanya menjawab “Iya sih, tapi aku kangen naik pesawat, makanya aku pengen ambil first flight biar aku bisa ngeliat sunrise dari atas, it’s been enough for me,” jadinya saya pun berangkat ikut bapak saya terbang jam 05.55 pagi.

Bagi yang mungkin belum tahu siapa diri saya, dan apabila ingin tahu, saya punya sebuah attachment yang sangat kuat dengan pesawat, terlebih saya memang brand minded dengan maskapai terbesar di Indonesia.

Sabtu pagi, dengan tiket status waiting list (maklum tiket o class, open pula) saya datang ke Soekarno – Hatta Airport Cengkareng, dengan modal cowboy alias nekat. Haha untuk urusan tunggu menunggu dan menjadi ‘standby’ passenger, saya mah udah tahan banting, tapi itu tadi, menunggu di airport tidak pernah membuat saya jenuh. Melihat seragam keluyuran sana-sini dapat membuat saya tersenyum. Apalagi seragam baru Garuda dengan kombinasi 3 warna yang membuat saya lebih senang, dan para penerbang, yang tetap menginspirasi saya. (Bapakkkk!! – haha)

Pagi itu, suasana airport benar – benar semrawut. Oh boy, it’s just 5 o clock in the morning and the terminal is fulled by passengers with various destinations. Saya tahu pasti saya akan di transfer ke Standby passenger counter, okay, dan banyaaak sekali penumpang yang menunggu, termasuk saya, dan saya pun bertemu beberapa kerabat dengan status tiket yang sama :p dan kita menunggu dengan penuh kesabaran, dan kecemasan.

Pesawat saya jam 05.55 dan o5.25 waktunya saya bertanya apakah saya dapat seat atau engga. Nama saya dipanggil-panggil namun saking penuhnya saya gak denger karena sebenarnya keasyikan ngobrol. Okay, saya lapor jam 05.40, dan petugas check-in sepertinya ketus ngomong “mas kan tadi udah saya panggil,” dan saya hanya bilang saya tidak mendengar, tapi untung I wasn’t too late to be put in the manifest. Dapatlah saya boarding pass dengan nomor 19B. YES, 19B- economy and center row. Wah berarti saya pun tidak bisa cockpit visit, secara saya jauh di row 19, dan harus melihat sunrise dari jendela.. 😦 tapi tidak apa-apa..

Saya tidak masalah duduk di ekonomi, walaupun saya memang keseringan duduk di bisnis selama ini, bagi saya sama aja (ciee sok wise) toh, it’s just an hour flight, but I prefer sit at the aisle part or window sekalian instead of center terutama untuk narrow body aircraft yang dimana saya lebih seneng jalan-jalan di pesawat ketimbang duduk atau tidur nyender di jendela.

Berhubung flight saat itu penuh, saya memang tidak dapat didepan, tapi ya once again, it’s not a big deal.05.45 saya masih tertahan di screening check terminal F. Antrinya panjang bukan main, seperti mau naik rollercoaster di dufan. Sepertinya kapasitas Soekarno – Hatta memang sudah tidak memadai dengan meningkatnya jumlah penumpang pesawat udara saat ini. Saya pikir dulu terminal 2 memang setidaknya lebih sepi ketimbang terminal 1 yang di dominasi LCC, tapi sama aja sekarang. Petugas imigrasi pun menginstruksikan bagi penumpang final call untuk screening check terlebih dahulu, dan saya pun lari maju ke depan. Adapun salah satu penumpang yang naik shuttle bus terakhir bersama saya dia bertanya, “Mas, busnya untuk pesawat ke Jogja kan?” saya menjawab “yes, ke jogja mas”. Saya saat itu harap-harap cemas takut ditinggal haha eh ternyata ada beberapa rombongan penumpang lainnya yang naik shuttle bus juga.

I was one among 20 last passengers to board the plane. Saat boarding saya masuk lewat pintu pertama, dan saya disambut oleh male purser (kepala servis penerbangan) yang saya kenal saat dulu bertemu in flight dari Hong Kong 2 tahun lalu, “Hello purs,” saya menyapa dan dia pun kaget melihat saya. “Duduk dimana?” he asked, “Belakangg..” i said giggling.  Emang udah banyak banget penumpang masuk pesawat. Dan 100% full load. Begitu saya duduk, saya sudah mulai mati gaya. Oh by the way pesawat yang saya naiki PK – GMP which is one of the new Boeing 737-800NG with AVOD and personal TV. Tapi tetep aja mati gaya. hehe. gak tau kenapa, mungkin karena saya tidak bawa bacaan kali ya.. tapi beruntung saya duduk bersebelahan dengan penumpang yang ternyata adalah teman dari beberapa teman baik saya, dan kita pun mengobrol during flight. “What a small world by the way”

Penerbangan 49 menit pun tidak terasa dengan mengobrol, saya tetap senang saya dapat melihat sunrise melalui jendela walaupun tidak sejelas apabila saya duduk di kursi window. Begitu kita mendekati kota Jogjakarta dan bersiap mendarat, saya berusaha untuk tetap tenang. Setiap kali saya landing di Jogja, bahkan dulu saat saya masih kuliah di jogja dan sering terbang bolak balik pun, saya tetap worried saat landing di Adisucipto, maklum runway airport ini pendek dan bergelombang. Pilot perlu menggunakan autobrake level 3 atau maximum apabila hujan mengguyur.


Namun landing was smooth (saya akui, bukannya subyektif tapi pilot Garuda memang handal dalam mendaratkan pesawat secara mulus) , and pesawat berhenti sebelum exit pertama sehingga pesawat tidak perlu berputar 360 derajat di ujung runway 27. It’s so hard to disembark the plane, since it is too short flight and I hadn’t had a chance to play around the galley just like the way I used to do.

Begitu menuruni pesawat ternyata ada instruktur Boeing 737-800NG yang juga berdiri mengucapkan terima kasih kepada penumpang. Rupanya ada first officer pilot lagi di check rupanya pantas saja saya tidak bisa ke kokpit. Saya hanya pamitan sama bapak dengan melambaikan tangan pas turun dari pesawat karena bapak pun harus terbang kembali ke Jakarta.

Well that’s it the story from GA 202 that brought me back to Jogja after one year. I’ll be posting more stories on my flight back tomorrow, GA 201 STD 06.05 am.

Cheers,

Standard

Leave a comment